Selasa, 18 Oktober 2016

KECELAKAAN TAMBANG PT LAPINDO BRANTAS

KECELAKAAN TAMBANG PT LAPINDO BRANTAS
Mei 2006, adalah bulan yang tidak bisa dilupakan bagi masyarakat Sidoarjo Jawa Timur, bahkan tidak hanya di Sidoarjo tetapi juga ranah negara. Bulan itu menjadi momen yang sangat miris, betapa tidak, masyarakat Sidoarjo yang mulanya memiliki harapan layaknya harapan  masyarakat pada umumnya, tiba-tiba berubah menjadi harapan yang suram. Masyarakat yang dulunya hidup sejahtera bersama harapan dan cita di lingkungan yang asri bersama sanak saudara dan tetangga sampai batasan waktu tak terhingga, tiba-tiba harapan itu pergi. Hidup dikampung halaman dengan nilai sosial yang tinggi kini hanya tinggal cerita lama yang entah sampai kapan akan terulang, atau mungkin takkan pernah terulang. Mereka kehilangan ratusan hektar lahan kehidupan yang di dalamnya terdapat ribuan tempat tinggal beserta aset kehidupan yang menjadi bekal masa depan mereka. Bersama dengan hilangnya tempat tinggal dan aset kehidupan, seolah-olah masa itu menjadi masa transisi bagi status kebahagiaan mereka. Berbagai upaya pemerintah dan perusahaan pemegang proyek tambang telah diupayakan untuk menggantikan kebahagiaan mereka, tapi entah sejauh mana kebahagiaan itu tergantikan. Mereka terisolir dengan tetangga dekat, atau mungkin bahkan dengan keluarga dengan ditempatkannya di sebuah tempat tinggal yang baru. Dampak semacam ini sungguh dampak yang tidak mungkin dapat tergantikan dengan uang.
Peristiwa ini bukan hanya menimbulkan dampak miris terhadap masyarakat tetapi dampaknya terasa sampai ke ranah negara. Pada mulanya negara memiliki harapan besar terhadap proyek tambang yang dilakukan oleh PT Lapindo, yang mana dengan proyek itu diharapkan dapat memberikan kontribusi besar terhadap pemenuhan kebutuhan minyak dan gas (Migas) negara. Akan tetapi fakta bicara lain, dengan kejadian ini, justru harapan ekonomis malah menenjadi sebuah kerugian yang tiada tara. Ribuan tempat tinggal, ratusan lahan pekerjaan, milyaran atau bahkan triliyunan aset telah hilang bersama bencana, bahkan nilainya akan terus bertambah sepanjang bencana terus berlangsung. Dan yang paling penting dalam kehidupan bermasyarakat adalah hilangnya kehidupan sosial yang telah terbangun lama, banyak dari korban yang tergusur mendapat tempat baru dengan lingkungan sosial baru, tentu kehidupan sosial semacam ini tidak akan pernah bisa tergantikan oleh uang. Masalah seperti ini tentu menjadi tanggung jawab negara.
Selanjutnya, yang merasakan dampak kerugian dari kecelakaan tambang ini adalah perusahaan tambang itu sendiri, dalam hal ini PT. Lapindo Brantas sebagai penanam modal terbesar proyek ini. Itulah sebabnya ketika masyarakat membicarakan masalah ini, PT Lapindo Brantas selalu dikambinghitamkan sebagai pihak pertama yang bersalah. Padahal tidak ada satu perusahaan pun yang dalam proses operasinya menyengajakan diri untuk berbuat rugi. Sebuah perusahaan migas, operasionalnya tertunda satu hari kerja saja, mereka bisa mengalami kerugian milyaran atau bahkan triliyunan rupiah. Itu hanya waktu yang tertunda, bukan hilang apalagi gagal. Peristiwa lumpur Sidoarjo merupakan gambaran kegagalan proses tambang.

B.        Analisis Masalah
Skala bencana yang amat besar ini terus menuai kritik hingga saat ini. Kementerian Lingkungan Hidup pada 9 Juni 2006 menyampaikan seruan yang menyatakan bahwa PT. Lapindo harus bertanggung jawab atas bencana ini. Menteri Energi dan Sumber daya Mineral pun tak mau ketinggalan mengutarakan seruannya pada 18 Juni 2006 bahwa PT Lapindo harus bertanggung jawab. Jika kita melihat sebuah bencana adalah berrmula dari sebuah sebab maka penyebab yang paling mudah kita duga adalah pertambangan itu sendiri. Maka mau tidak mau yang bertanggung jawab terhadap bencana tersebut adalah pelaksana tambang itu sendiri. PT Lapindo sudah selayaknya menerima tanggung jawab itu karena mereka adalah pelaksana tambang itu sendiri.
Perusahaan tambang merupakan perusahaan yang resiko kecelakaannya tidak terlalu kompleks seperti halnya perusahaan konstruksi dan industri.  Akan tetapi sekalinya terjadi resiko, nilai kerugiannya amat besar, yang mana menimbulkan dampak pada kerusakan lingkungan yang sangat besar. Sudah menjadi kewajiban umum bagi sebuah perusahaan tambang sebelum melaksanakan eksplorasinya  melakukan analisis resiko secara matang. Kita menyadari bahwa setiap proses operasi tambang baik itu eksplorasi maupun pengolahan pasti memiliki resiko yang terhadap kerugian, baik itu kerugian yang bersifat material, sosial, dan yang tidak kalah penting adalah resiko kerusakan lingkungan. Dalam teori keselamatan dan kesehatan kerja resiko tidak mungkin dihilangkan, resiko hanya dapat dikendalikan. Akan tetapi jika pengendaliannya dapat dilakukan dengan baik maka resiko bisa menjadi sangat kecil, bahkan mendekati tidak ada. Melihat kasus pemandangan mengenai besarnya kerugian yang diakibatkan dari kecelakaan tambang PT Lapindo menunjukan bahwa terdapat kegagalan dalam mengelola resiko.
Sejatinya tidak ada perusahaan yang tidak menerapkan manajemen resiko, lalu mereka aman dari ancaman resiko. Manajemen resiko di sini tentunya disesuaikan dengan ruang lingkup  pekerjaan itu sendiri, yang mana perusahaan tambang merupakan perusahaan yang padat karya, padat modal, dan padat material. Konsep manajeman resiko yang paling tepat digunakan adalah Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Sistem Manajeman Keselamatan dan Kesehatan Kerja di sini mencakup perlindungan dari resiko kerugian material, modal, waktu kerja atau bahkan nyawa karyawan. Sistem Manajemen K3 bukanlah cara untuk menghilangkan resiko, akan tetapi upaya untuk mengurangi nilai resiko.

C.    Teori dan Konsep
Sistem Manajemen K3 mengenal lima hierarki metode pengendalian resiko, yang meliputi Eliminasi, Subtitusi, Engineering, Administrasi, dan Personal Protection and Equipement (PPE). Kelima hierarki tersebut memiliki peruntukkan masing-masing sesuai kebutuhan di tempat yang memiliki resiko bahaya tertentu. Pada hakikatnya kelima metode tersebut dapat digunakan semuanya, akan tetapi setiap kebijakan yang berkaitan dengan K3 membutuhkan biaya yang harus dikeluarkan. Sementara itu, proses industri tambang adalah proses yang muaranya ke profit, sehingga agar tidak terjadi pemborosan biaya yang berimbas pada perubahan provit, perlu dipertimbangkan setiap biaya yang dikeluarkan untuk sebuah kebijakan K3.
Metode eliminasi merupakan metode mengendalikan resiko dengan menghilangkan sumber bahaya. Pada kasus ini tidak mungkin dapat dilakukan karena sumber bahayanya adalah berasal dari perut bumi, bukan dari peralatan maupun material lain. Metode eliminasi hanya mungkin dilakukan apabila sumber bahaya berasal dari material atau peralatan yang apabila dihilangkan tidak mengganggu proses industri.
Metode subtitusi atau sering disebut dengan “mengganti”, yaitu mengupayakan pengendalian resiko dengan mengganti peralatan, bahan, atau material berbahaya dengan peralatan, bahan, atau material lain yang tidak berbahaya. Namun dalam kasus ini, penyebab bahaya bukan karena peralatan atau material, sehingga metode ini tidak tepat digunakan untuk menangani masalah ini.
Hirarki yang ketiga adalah rekayasa engineering, yang mana kita mengendalikan resiko dengan membuat peralatan dengan desain yang berbeda. Metode ini tepat digunakan apabila penyebab bahaya ada pada desain peralatan yang kurang tepat. Biasanya digunakan pada hazard ergonomic, yang mana karena tidak sesuainya desain peralatan dengan fisiologis pekerja.
Hirarki keempat adalah metode administrasi. Metode ini memungkinkan kita untuk bisa mengendalikan resiko bahaya melalui upaya-upaya administrasi seperti pencatatan insiden kecelakaan serta apa penyebabnya agar penyebab-penyebab itu tidak terulang di waktu yang lain. Metode administrasi juga termasuk memasang rambu-rambu peringatan, sehingga siapa pun yang akan melewati area berbahaya mereka lebih berhati-hati setelah melihat rambu-rambu peringatan tersebut. Metode administrasi juga mencakup pencatatan mengenai data yang menerangkan tentang diri pekerja, baik itu mengenai kemampuan skill, status kesehatan, pengalaman bekerja, kompetensi dasar dan lain-lain. Catatan-catatan semacam ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk ditempatkan di unit mana, sehingga sangat bermanfaat bagi upaya pengurangan resiko kecelakaan mereka.
Hirarki kelima yaitu metode personal protective and equipment (PPE). Adalah upaya pengendalian resiko melalui personal pekerjanya. Beberapa hal yang bisa dilakukan dalam metode ini adalah memberikan alat pelindung diri seperti sepatu, apron, helm, wears pack, dan lain lain yang berfungsi melindungi pekerja dari bahaya yang ada di tempat kerja. Metode ini merupakan metode dengan biaya paling murah.

D.  Penyelesaian Masalah
Jika kita mampu memilih salah satu saja metode paling tepat untuk mengendalikan sebuah resiko, maka akan sangat besar pengaruhnya dalam meminimalisir peluang terjadinya kecelakaan. Berdasarkan sumber yang kami baca, bahwa Indonesia sempat mendapat tawaran dari luar negeri untuk menangani kasus lumpur Sidoarjo, yang menyatakan bahwa seandainya kejadian ini segera mendapat penanganan dini maka kemungkinan kerugian yang ditimbulkan dari semburan lumpur bisa ditekan seminimal mungkin. Akan tetapi ketika mendapat penawaran tersebut, Indonesia merasa cukup dan mampu menanganinya sendiri sehingga tidak menerima tawaran itu. Seandainya dalam waktu cepat ketika itu Indonesia menerima tawaran itu, maka dampaknya mungkin tidak sampai seperti sekarang ini.
Berdasarkan kasus ini dapat ditarik kesimpulan bahwa salah satu pokok permasalahan dari kasus bencana lumpur Sidoarjo yang menimbulkan kerugian dalam skala besar dan berkepanjangan adalah kurangnya kompetensi para insinyur yang mengelola proses eksploitasi tersebut. Maka dalam hal ini satu metode paling tepat adalah metode administrasi, yaitu melalui peningkatan skill pekerja serta perbaikan Sistem Manajemen K3 (SMK).
Melalui metode administrasi kita maksimalkan fungsi pencatatan yang mencakup pencatatan siapa, kompetensinya apa, ahli mengerjakan pekerjaan di bidang apa, dengan demikian spesialisasi pekerjaan menjadi jelas. Kedua, metode administrasi mencakup pencatatan pengalaman-pengalaman selama proses eksploitasi, sehingga dengan dibantu pencatatan mengenai riwayat pengalaman peristiwa near miss maka peristiwa near miss selanjutnya tidak terjadi. Ketiga, apabila terjadi perkembangan baru mengenai perubahan kondisi alam, maka perlu adanya pemberitahuan baik itu melalui tulisan atau pun rambu-rambu kepada semua yang terlibat dalam proses eksplorasi. Keempat, apabila ada perkembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan proses eksploitasi maka pengetahuan tersebut disosialisasikan kepada semua pekerja yang berkaitan dengan proses eksplorasi. Keempat metode tersebut adalah upaya dalam meningkatkan skill para insinyur, agar mereka setidaknya resiko kecelakaan yang diakibatkan karena ketidaktahuan dapat ditekan.
Kita dapat membayangkan, bagaimana seandainya proses eksplorasi migas di Sidoarjo berjalan dengan lancer tanpa adanya kecelakaan, masyarakat Porong Sidoarjo akan tetap hidup damai sejahtera di lingkungannya sendiri. Sistem perekonomian negara berjalan lebih lancer karena tidak tersendat oleh masalah bencana. Negara memiliki cadangan minyak lebih banyak, karena proses eksplorasi tidak sia-sia dan membuahkan hasil untuk kebutuhan minyak dan gas negara. Sengketa sosial mengenai tuntutan ganti rugi ribuan kepala keluarga tidak terjadi seperti sekarang ini. Kelestarian alam tetap terjaga, tidak seperti sekarang ini, ratusan hektar lahan terendam lumpur menjadi pemandangan baru yang sangat miris.

E.     Kesimpulan
Hal terpenting yang dapat ditarik kesimpulan dari penyelesaian masalah ini adalah, mestinya kita dapat melakukan pengendalian resiko melalui upaya-upaya administrasi. Pengenalan terhadap kompetensi pekerja, pengalaman pekerja, skill pekerja menjadi hal yang cukup penting dipertimbangkan. Hal ini untuk meminimalisir resiko kecelakaan yang disebabkan oleh kekurangtahuan pekerja. Peningkatan Sistem Manajemen K3 juga harus dilakukan agar upaya preventif terjadi secara menyeluruh dan tersistematis.
Seandainya semua dapat ditanggulangi melalui upaya- preventif, maka sampai saat ini kita tidak mengenal yang namanya lumpur Lapindo. Sayang sekali, upaya-upaya macam ini sering orang memandang sebelah mata, mereka baru akan memandang penting setelah menemukan masalah dan timbul sebuah resiko. Semoga kasus ini dapat menjadikan kita sadar akan arti pentingnya sebuah manajemen resiko, terutama manajemen resiko yang berkaitan dengan proses tambang.

Komtar saya tentang proyek ini adalah seharusnya pt lapindo sendiri harus tau batasan untuk mengebornya dan memperhitungkan dengan matang-matang sebelum melanjutkan pengeborannya dan juga harus memperhatikan dampak bagi lingkungan sekitar agar tidak terjadi seperti sekarang ini yang merugikan warga dan negara karna lumpur masih menyembur keluar sampai sekarang, dan belum ada solusi untuk membereskannya.


Sumber: http://anifmubarok.blogspot.co.id/2014/12/kecelakaan-tambang-pt-lapindo-brantas.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar