KECELAKAAN TAMBANG PT
LAPINDO BRANTAS
Mei 2006,
adalah bulan yang tidak bisa dilupakan bagi masyarakat Sidoarjo Jawa Timur,
bahkan tidak hanya di Sidoarjo tetapi juga ranah negara. Bulan itu menjadi
momen yang sangat miris, betapa tidak, masyarakat Sidoarjo yang mulanya
memiliki harapan layaknya harapan masyarakat pada umumnya, tiba-tiba
berubah menjadi harapan yang suram. Masyarakat yang dulunya hidup sejahtera
bersama harapan dan cita di lingkungan yang asri bersama sanak saudara dan
tetangga sampai batasan waktu tak terhingga, tiba-tiba harapan itu pergi. Hidup
dikampung halaman dengan nilai sosial yang tinggi kini hanya tinggal cerita
lama yang entah sampai kapan akan terulang, atau mungkin takkan pernah
terulang. Mereka kehilangan ratusan hektar lahan kehidupan yang di dalamnya
terdapat ribuan tempat tinggal beserta aset kehidupan yang menjadi bekal masa
depan mereka. Bersama dengan hilangnya tempat tinggal dan aset kehidupan,
seolah-olah masa itu menjadi masa transisi bagi status kebahagiaan mereka.
Berbagai upaya pemerintah dan perusahaan pemegang proyek tambang telah
diupayakan untuk menggantikan kebahagiaan mereka, tapi entah sejauh mana
kebahagiaan itu tergantikan. Mereka terisolir dengan tetangga dekat, atau
mungkin bahkan dengan keluarga dengan ditempatkannya di sebuah tempat tinggal yang
baru. Dampak semacam ini sungguh dampak yang tidak mungkin dapat tergantikan
dengan uang.
Peristiwa ini bukan hanya menimbulkan dampak miris
terhadap masyarakat tetapi dampaknya terasa sampai ke ranah negara. Pada
mulanya negara memiliki harapan besar terhadap proyek tambang yang dilakukan
oleh PT Lapindo, yang mana dengan proyek itu diharapkan dapat memberikan
kontribusi besar terhadap pemenuhan kebutuhan minyak dan gas (Migas) negara.
Akan tetapi fakta bicara lain, dengan kejadian ini, justru harapan ekonomis
malah menenjadi sebuah kerugian yang tiada tara. Ribuan tempat tinggal, ratusan
lahan pekerjaan, milyaran atau bahkan triliyunan aset telah hilang bersama
bencana, bahkan nilainya akan terus bertambah sepanjang bencana terus
berlangsung. Dan yang paling penting dalam kehidupan bermasyarakat adalah
hilangnya kehidupan sosial yang telah terbangun lama, banyak dari korban yang
tergusur mendapat tempat baru dengan lingkungan sosial baru, tentu kehidupan
sosial semacam ini tidak akan pernah bisa tergantikan oleh uang. Masalah
seperti ini tentu menjadi tanggung jawab negara.
Selanjutnya, yang merasakan dampak kerugian dari
kecelakaan tambang ini adalah perusahaan tambang itu sendiri, dalam hal ini PT.
Lapindo Brantas sebagai penanam modal terbesar proyek ini. Itulah sebabnya
ketika masyarakat membicarakan masalah ini, PT Lapindo Brantas selalu
dikambinghitamkan sebagai pihak pertama yang bersalah. Padahal tidak ada satu
perusahaan pun yang dalam proses operasinya menyengajakan diri untuk berbuat
rugi. Sebuah perusahaan migas, operasionalnya tertunda satu hari kerja saja,
mereka bisa mengalami kerugian milyaran atau bahkan triliyunan rupiah. Itu
hanya waktu yang tertunda, bukan hilang apalagi gagal. Peristiwa lumpur
Sidoarjo merupakan gambaran kegagalan proses tambang.
B. Analisis Masalah
Skala bencana yang amat besar ini terus menuai kritik
hingga saat ini. Kementerian Lingkungan Hidup pada 9 Juni 2006 menyampaikan
seruan yang menyatakan bahwa PT. Lapindo harus bertanggung jawab atas bencana
ini. Menteri Energi dan Sumber daya Mineral pun tak mau ketinggalan
mengutarakan seruannya pada 18 Juni 2006 bahwa PT Lapindo harus bertanggung
jawab. Jika kita melihat sebuah bencana adalah berrmula dari sebuah sebab maka
penyebab yang paling mudah kita duga adalah pertambangan itu sendiri. Maka mau
tidak mau yang bertanggung jawab terhadap bencana tersebut adalah pelaksana
tambang itu sendiri. PT Lapindo sudah selayaknya menerima tanggung jawab itu
karena mereka adalah pelaksana tambang itu sendiri.
Perusahaan tambang merupakan perusahaan yang resiko
kecelakaannya tidak terlalu kompleks seperti halnya perusahaan konstruksi dan
industri. Akan tetapi sekalinya terjadi resiko, nilai kerugiannya
amat besar, yang mana menimbulkan dampak pada kerusakan lingkungan yang sangat
besar. Sudah menjadi kewajiban umum bagi sebuah perusahaan tambang sebelum
melaksanakan eksplorasinya melakukan analisis resiko secara matang.
Kita menyadari bahwa setiap proses operasi tambang baik itu eksplorasi maupun
pengolahan pasti memiliki resiko yang terhadap kerugian, baik itu kerugian yang
bersifat material, sosial, dan yang tidak kalah penting adalah resiko kerusakan
lingkungan. Dalam teori keselamatan dan kesehatan kerja resiko tidak mungkin
dihilangkan, resiko hanya dapat dikendalikan. Akan tetapi jika pengendaliannya
dapat dilakukan dengan baik maka resiko bisa menjadi sangat kecil, bahkan
mendekati tidak ada. Melihat kasus pemandangan mengenai besarnya kerugian yang
diakibatkan dari kecelakaan tambang PT Lapindo menunjukan bahwa terdapat
kegagalan dalam mengelola resiko.
Sejatinya tidak ada perusahaan yang tidak menerapkan
manajemen resiko, lalu mereka aman dari ancaman resiko. Manajemen resiko di
sini tentunya disesuaikan dengan ruang lingkup pekerjaan itu
sendiri, yang mana perusahaan tambang merupakan perusahaan yang padat karya,
padat modal, dan padat material. Konsep manajeman resiko yang paling tepat
digunakan adalah Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).
Sistem Manajeman Keselamatan dan Kesehatan Kerja di sini mencakup perlindungan
dari resiko kerugian material, modal, waktu kerja atau bahkan nyawa karyawan.
Sistem Manajemen K3 bukanlah cara untuk menghilangkan resiko, akan tetapi upaya
untuk mengurangi nilai resiko.
C. Teori dan Konsep
Sistem Manajemen K3 mengenal lima hierarki metode
pengendalian resiko, yang meliputi Eliminasi, Subtitusi, Engineering,
Administrasi, dan Personal Protection and Equipement (PPE).
Kelima hierarki tersebut memiliki peruntukkan masing-masing sesuai
kebutuhan di tempat yang memiliki resiko bahaya tertentu. Pada hakikatnya
kelima metode tersebut dapat digunakan semuanya, akan tetapi setiap kebijakan
yang berkaitan dengan K3 membutuhkan biaya yang harus dikeluarkan. Sementara
itu, proses industri tambang adalah proses yang muaranya ke profit, sehingga
agar tidak terjadi pemborosan biaya yang berimbas pada perubahan provit, perlu
dipertimbangkan setiap biaya yang dikeluarkan untuk sebuah kebijakan K3.
Metode eliminasi merupakan metode mengendalikan resiko
dengan menghilangkan sumber bahaya. Pada kasus ini tidak mungkin dapat
dilakukan karena sumber bahayanya adalah berasal dari perut bumi, bukan dari
peralatan maupun material lain. Metode eliminasi hanya mungkin dilakukan
apabila sumber bahaya berasal dari material atau peralatan yang apabila
dihilangkan tidak mengganggu proses industri.
Metode subtitusi atau sering disebut dengan
“mengganti”, yaitu mengupayakan pengendalian resiko dengan mengganti peralatan,
bahan, atau material berbahaya dengan peralatan, bahan, atau material lain yang
tidak berbahaya. Namun dalam kasus ini, penyebab bahaya bukan karena peralatan
atau material, sehingga metode ini tidak tepat digunakan untuk menangani
masalah ini.
Hirarki yang ketiga adalah rekayasa engineering,
yang mana kita mengendalikan resiko dengan membuat peralatan dengan desain yang
berbeda. Metode ini tepat digunakan apabila penyebab bahaya ada pada desain
peralatan yang kurang tepat. Biasanya digunakan pada hazard ergonomic, yang
mana karena tidak sesuainya desain peralatan dengan fisiologis pekerja.
Hirarki keempat adalah metode administrasi. Metode ini
memungkinkan kita untuk bisa mengendalikan resiko bahaya melalui upaya-upaya
administrasi seperti pencatatan insiden kecelakaan serta apa penyebabnya agar
penyebab-penyebab itu tidak terulang di waktu yang lain. Metode administrasi
juga termasuk memasang rambu-rambu peringatan, sehingga siapa pun yang akan
melewati area berbahaya mereka lebih berhati-hati setelah melihat rambu-rambu
peringatan tersebut. Metode administrasi juga mencakup pencatatan mengenai data
yang menerangkan tentang diri pekerja, baik itu mengenai kemampuan skill,
status kesehatan, pengalaman bekerja, kompetensi dasar dan lain-lain.
Catatan-catatan semacam ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk
ditempatkan di unit mana, sehingga sangat bermanfaat bagi upaya pengurangan
resiko kecelakaan mereka.
Hirarki kelima yaitu metode personal
protective and equipment (PPE). Adalah upaya pengendalian resiko
melalui personal pekerjanya. Beberapa hal yang bisa dilakukan dalam metode ini
adalah memberikan alat pelindung diri seperti sepatu, apron, helm, wears
pack, dan lain lain yang berfungsi melindungi pekerja dari bahaya yang ada
di tempat kerja. Metode ini merupakan metode dengan biaya paling murah.
D. Penyelesaian Masalah
Jika kita mampu memilih salah satu saja metode paling
tepat untuk mengendalikan sebuah resiko, maka akan sangat besar pengaruhnya
dalam meminimalisir peluang terjadinya kecelakaan. Berdasarkan sumber yang kami
baca, bahwa Indonesia sempat mendapat tawaran dari luar negeri untuk menangani
kasus lumpur Sidoarjo, yang menyatakan bahwa seandainya kejadian ini segera
mendapat penanganan dini maka kemungkinan kerugian yang ditimbulkan dari
semburan lumpur bisa ditekan seminimal mungkin. Akan tetapi ketika mendapat
penawaran tersebut, Indonesia merasa cukup dan mampu menanganinya sendiri
sehingga tidak menerima tawaran itu. Seandainya dalam waktu cepat ketika itu
Indonesia menerima tawaran itu, maka dampaknya mungkin tidak sampai seperti
sekarang ini.
Berdasarkan kasus ini dapat ditarik kesimpulan bahwa
salah satu pokok permasalahan dari kasus bencana lumpur Sidoarjo yang
menimbulkan kerugian dalam skala besar dan berkepanjangan adalah kurangnya
kompetensi para insinyur yang mengelola proses eksploitasi tersebut. Maka dalam
hal ini satu metode paling tepat adalah metode administrasi, yaitu melalui
peningkatan skill pekerja serta perbaikan Sistem Manajemen K3 (SMK).
Melalui metode administrasi kita maksimalkan fungsi
pencatatan yang mencakup pencatatan siapa, kompetensinya apa, ahli mengerjakan
pekerjaan di bidang apa, dengan demikian spesialisasi pekerjaan menjadi jelas.
Kedua, metode administrasi mencakup pencatatan pengalaman-pengalaman selama
proses eksploitasi, sehingga dengan dibantu pencatatan mengenai riwayat
pengalaman peristiwa near miss maka peristiwa near
miss selanjutnya tidak terjadi. Ketiga, apabila terjadi perkembangan
baru mengenai perubahan kondisi alam, maka perlu adanya pemberitahuan baik itu
melalui tulisan atau pun rambu-rambu kepada semua yang terlibat dalam proses
eksplorasi. Keempat, apabila ada perkembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengan proses eksploitasi maka pengetahuan tersebut disosialisasikan kepada
semua pekerja yang berkaitan dengan proses eksplorasi. Keempat metode tersebut
adalah upaya dalam meningkatkan skill para insinyur, agar mereka setidaknya
resiko kecelakaan yang diakibatkan karena ketidaktahuan dapat ditekan.
Kita dapat membayangkan, bagaimana seandainya proses
eksplorasi migas di Sidoarjo berjalan dengan lancer tanpa adanya kecelakaan,
masyarakat Porong Sidoarjo akan tetap hidup damai sejahtera di lingkungannya
sendiri. Sistem perekonomian negara berjalan lebih lancer karena tidak
tersendat oleh masalah bencana. Negara memiliki cadangan minyak lebih banyak,
karena proses eksplorasi tidak sia-sia dan membuahkan hasil untuk kebutuhan
minyak dan gas negara. Sengketa sosial mengenai tuntutan ganti rugi ribuan
kepala keluarga tidak terjadi seperti sekarang ini. Kelestarian alam tetap
terjaga, tidak seperti sekarang ini, ratusan hektar lahan terendam lumpur
menjadi pemandangan baru yang sangat miris.
E. Kesimpulan
Hal terpenting yang dapat ditarik kesimpulan dari
penyelesaian masalah ini adalah, mestinya kita dapat melakukan pengendalian
resiko melalui upaya-upaya administrasi. Pengenalan terhadap kompetensi
pekerja, pengalaman pekerja, skill pekerja menjadi hal yang cukup penting
dipertimbangkan. Hal ini untuk meminimalisir resiko kecelakaan yang disebabkan
oleh kekurangtahuan pekerja. Peningkatan Sistem Manajemen K3 juga harus
dilakukan agar upaya preventif terjadi secara menyeluruh dan tersistematis.
Seandainya semua dapat ditanggulangi melalui upaya-
preventif, maka sampai saat ini kita tidak mengenal yang namanya lumpur
Lapindo. Sayang sekali, upaya-upaya macam ini sering orang memandang sebelah
mata, mereka baru akan memandang penting setelah menemukan masalah dan timbul
sebuah resiko. Semoga kasus ini dapat menjadikan kita sadar akan arti
pentingnya sebuah manajemen resiko, terutama manajemen resiko yang berkaitan
dengan proses tambang.
Komtar saya tentang proyek ini adalah seharusnya pt lapindo sendiri
harus tau batasan untuk mengebornya dan memperhitungkan dengan matang-matang
sebelum melanjutkan pengeborannya dan juga harus memperhatikan dampak bagi
lingkungan sekitar agar tidak terjadi seperti sekarang ini yang merugikan warga
dan negara karna lumpur masih menyembur keluar sampai sekarang, dan belum ada
solusi untuk membereskannya.
Sumber: http://anifmubarok.blogspot.co.id/2014/12/kecelakaan-tambang-pt-lapindo-brantas.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar